Penobatan Pangeran Menol
Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.
Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.
Hujan Orografis atau Relief
Hujan orografis pada umumnya terjadi pada perbukitan atau pegunungan karena proses terjadinya diakibatkan angin yang datang mendorong udara yang mengarah pada bukit maupun pegunungan ataupun hutan hujan tropis dimana tempat berbagai fauna tinggal, seperti halnya yang dibahas pada buku Seri Mengenal Habitat Hewan: Hutan Hujan Tropis.
Kemudian, udara yang mencapai bukit mulai menjadi lebih dingin. Ketika mencapai kelembaban, ia akan perlahan-lahan mengembun menjadi awan lalu turun ke bawah menjadi tetesan hujan di permukaan bumi.
Hujan frontal dapat terjadi saat pertemuan udara dingin dan hangat. Bayangkan ketika kamu mendaki sebuah bukit. Semakin tinggi kamu naik, maka akan semakin dingin pula suasana yang terasa di atas. Hal ini juga berlaku pada hujan tersebut saat udara panas naik menuju atmosfer kemudian menabrak udara dingin di atas.
Udara yang mulai dingin itu akan menjadi awan stratus, kemudian turun ke permukaan bumi sebagai hujan. Hujan jenis ini juga bisa disertai dengan badai petir dan kilat. Selain itu, hujan frontal juga dapat terjadi hingga beberapa jam.
Hujan muson diakibatkan oleh angin muson atau yang lebih dikenal sebagai angin yang menyebabkan musim hujan dan kemarau. Angin muson juga berhembus dari benua asia ke australia seiring dengan perubahan musim yang ada. Saate angin ini melewati berbagai samudera, akan ada banyak uap air yang berakibat pada terjadinya hujan. Sering kali hujan ini turun wilayah di India, Asia Tenggara, dan beberapa kawasan lainnya.
Air hujan akan turun di darat, di laut, dan juga di tanah. Air hujan yang jatuh di tanah akan meresap menjadi air tanah, lantas akan keluar melalui sumur. Selain itu, air hujan juga akan merembes ke danau atau sungai. Sementara, air hujan yang jatuh ke perairan seperti sungai dan danau akan menambah jumlah air di tempat itu. Kemudian, air akan mengalir ke laut. Meski demikian, sebagian air di tempat perairan akan menguap kembali. Proses penguapan tersebut akan membentuk awan yang juga berasal dari tumbuhan. Proses siklus air itu akan terus berulang, hanya saja wujud dan tempatnya berubah.
Air hujan memiliki banyak manfaat. Berikut penjelasan lengkapnya yang juga bisa kamu pelajari melalui buku Seri Sains untuk Balita: Hujan dengan ilustrasi menarik!
Seri Sains untuk Balita : Hujan
Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta
Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.
Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.
Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.
Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.
Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.
Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.
Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.
Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.
Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?
Sebab khusus Perang Diponegoro
Sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Pada tahun 1825, Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.
Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang terhadap Belanda.
Sebelum insiden patok tersebut, pada 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen Yogyakarta.
Tanpa diketahui sebabnya, tokoh Belanda ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro.
Ketiadaan pemimpin yang berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda, termasuk Smissaert berbuat semaunya.
Smissaert bahkan selalu duduk di kursi yang disediakan untuk sultan ketika diadakan rapat resmi.
Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro
Konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam sesudah peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman residen.
Kala itu, Pangeran Diponegoro terang-terangan menentang Smissaert. Hal itulah yang membuat Smissaert bekerjasama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.
Pada suatu hari di tahun 1825, Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang patok dalam rangka membuat jalan baru.
Pemasangan patok ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.
Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti patok-patok itu karena di tanah tersebut terletak makam leluhurnya.
Namun, Patih Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali patok-patok itu dengan dikawal pasukan Macanan (pasukan pengawal Kepatihan).
Baca juga: Reog Bulkiyo, Warisan Prajurit Pangeran Diponegoro
Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespon dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.
Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825.
KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).
Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.
Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.
Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?
Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya
Penobatan Pangeran Menol
Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.
Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.
Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.
Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.
Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.
Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.
Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.
Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?
Penderitaan rakyat akibat penjajahan
Dominasi Belanda di Yogyakarta membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.
Pada waktu itu, pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan.
Pada umumnya, tanah ini disewa dengan penduduknya sekaligus. Alhasil, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.
Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan.
Di samping itu, masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol, di mana semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak.
Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.
Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro semakin mantab untuk melakukan perlawanan.
Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?
Cara Menghindari Petir
Berikut cara yang harus dilakukan untuk terhindar dari sambaran petir ketika sudah terdapat tanda-tanda petir di langit:
Demikian penjelasan proses terjadinya petir dan cara berlindung dari sambaran petir. Semoga bermanfaat dan terus tingkatkan kewaspadaan ya, Dab!
Artikel ini ditulis oleh Ridwan Luhur Pambudi, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.
Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).
Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.
Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.
Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?
Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya
Proses Terjadinya Petir pada Awan Panas Gunung Api
Mekanisme petir dari letusan gunung api atau petir vulkanik tidak jauh berbeda dengan petir dari awan Cb. Bedanya, muatan yang terkandung dalam awan Cb digantikan oleh awan kepulan erupsi gunung api berisi uap air, abu, debu, dan partikel vulkanik lain yang menyembur ke angkasa secara masif.
Petir vulkanik tidak terjadi secara langsung walau di dalam kolom letusan telah berisi partikel abu kaca panas, uap dan gas yang bersama meletus ke atmosfer. Hal itu, karena sebelum terjadi petir, partikel tersebut harus terionisasi terlebih dahulu dengan memisahkan elektron yang terikat pada tiap partikel dengan perantara energi potensial suatu masa. Muatan-muatan ion inilah yang menjadi pemicu terbentuknya petir.
Air Hujan Dapat Dipanen
Bukan hanya tanaman, air hujan pun dapat dimanfaatkan dengan cara “dipanen”. Hal itu bisa dilakukan dengan memakai bak penampungan atau mengalirkannya ke sumur. Air hujan dari atap bisa dialirkan melalui pipa ke sumur atau melalui bak penampung. Selain itu, hujan juga bisa disaring dengan alat sederhana seperti kain dan kaos agar terbebas dari debu.
Tak hanya itu, para petani juga dapat memanen air hujan dengan membuat sumur atau kolam di sekitar lahan pertanian. Apabila musim kemarau tiba, air yang ditampung tersebut dapat menjadi alternatif untuk pengairan. Air hujan juga dapat dimanfaatkan untuk perikanan.
Tak banyak orang tahu, air hujan di Indonesia juga masih layak untuk dikonsumsi. Tingkat keasaman air hujan di berbagai daerah pernah diteliti, di antaranya Jogja, Bali, Bogor dan Jakarta. Penelitian itu menyimpulkan rata-rata tingkat pH (potential hydrogen) air hujan di sejumlah daerah itu adalah 7,2 sampai 7,4.
Artinya, secara kualitas air hujan di Indonesia masih layak diminum oleh manusia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga telah mengembangkan dua bentuk sistem pemanfaatan dan pengolahan air hujan untuk air minum, yaitu Sistem Pemanfaatan Air Hujan (SPAH) dan Pengolahan Air Siap Minum (ARSINUM).
Selain itu, cara pengolahan air dengan metode lebih sederhana juga pernah dikembangkan sejumlah komunitas pemanen air hujan di sekitar Magelang, Klaten, Jogja dan daerah lainnya. Misalnya, cara pengolahan air hujan menjadi air siap minum yang dilakukan oleh Komunitas Banyu Bening di Sleman (DI Yogyakarta) serta Komunitas Kandang Udan di Desa Bunder, Klaten (Jawa Tengah).
Itulah penjelasan mengenai pengertian, proses, jenis, dan manfaat air hujan. Untuk menambah wawasan kalian mengenai hujan ataupun perubahan cuaca lainnya, Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan senantiasa menghadirkan buku-buku berkualitas dan bermanfaat, salah satunya buku di bawah ini.
Buku Aktivitas Musim dan Cuaca
Penulis: Indiana Malia
Saat kondisi mendung, kilatan cahaya kerap kali terlihat diikuti suara menggelegar beberapa saat setelahnya. Itulah yang dikenal dengan petir dan berbahaya ketika terkena tubuh manusia karena memiliki arus listrik sangat besar.
Mengutip situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), petir adalah kilatan cahaya di atmosfer yang terdiri dari guntur dan disebabkan oleh pelepasan listrik berarus tinggi. Petir terjadi karena pelepasan muatan listrik yang dipisahkan dalam awan cumulonimbus.
Petir melepaskan arus listrik yang tinggi dalam rentang waktu yang singkat. Dalam satu sambaran petir, diperkirakan arus listrik yang dilepas mencapai 80 ribu ampere. Sementara, total daya rata-rata yang dilepaskan secara serentak dalam satu kali sambaran petir sekitar 106 watt.
Besarnya energi yang dilepaskan petir dapat menimbulkan dampak pada objek yang terkena sambaran petir, seperti kerusakan, kebakaran, hingga korban jiwa ketika petir menyambar manusia. Selain itu, dampak merugikan lain dari petir berupa kerusakan jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, dan gangguan penerbangan.
Dalam beberapa kejadian, petir tidak hanya berasal dari awan mendung di langit, tetapi juga dapat terjadi ketika gunung berapi mengeluarkan kepulan asap pekat. Lantas, bagaimana sebenarnya petir ini bisa terjadi? Berikut penjelasannya yang dikutip dari laman BPBD Jogja, buletin Waspadai!! Cuaca Ekstrim di Awal Tahun 2020 oleh Stasiun Meteorologi Juanda Sidoarjo, dan laman Stasiun Meteorologi Trunojoyo Madura.
Bisa Menjadi Cadangan Saat Musim Kemarau
Berdasarkan informasi dari laman resmi Institut Teknologi Bandung, air hujan bisa dimanfaatkan dengan cara menyimpannya. Cara tersebut dapat berguna untuk mengatasi kekeringan di kala musim kemarau tiba. Secara umum, cara penyimpanan air hujan bisa dilakukan melalui dua teknik.
Pertama, simpan air sejak di hulu sungai. Air dapat disimpan di bagian Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai maupun hilir sungai. Penyimpanan itu bisa dilakukan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah.
Cara kedua, yakni melakukan rekayasa. Rekayasa tersebut bisa dimulai dengan cara melakukan revitalisasi atau penghidupan situ kembali di hulu sungai, kemudian membuat embung sungai. Jika aliran sungainya besar dan panjang seperti kali Citarum, pada bagian tengah aliran sungai bisa dibuat waduk. Waduk yang sudah ada misalnya Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur.